Kepastian hukum dalam kewajiban Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali diuji di Pengadilan Pajak. Kasus yang melibatkan PB (Wajib Pajak Badan), dengan Nomor Putusan PUT-004988.11/2021/PP/M.XVIIIA Tahun 2025, menyoroti kompleksitas implementasi Pasal 22 Undang-Undang PPh dan risiko sengketa yang timbul dari proses cross-check data administrasi perpajakan. Sengketa utama berpusat pada koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 22 sebesar Rp. 2.414.069.323,00 yang muncul karena adanya perbedaan antara data pembelian (e-Faktur PPN) dengan pelaporan PPh Potput Wajib Pajak. Putusan Majelis Hakim yang mengabulkan sebagian permohonan banding Wajib Pajak ini memberikan pelajaran penting mengenai beban pembuktian yang mutlak dalam litigasi pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendasarkan koreksi pada teknik penyandingan data. DJP menemukan selisih signifikan antara nilai pembelian barang/bahan yang dilaporkan PB dalam Lampiran B2 SPT Masa PPN dan data e-Faktur pembelian dengan total DPP PPh Pasal 22 yang dilaporkan oleh PB sebagai Wajib Pajak Pemungut. Asumsinya, seluruh selisih tersebut merupakan objek PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh BUMN. Di sisi lain, PB membantah keras dan menyatakan bahwa kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 telah dilaksanakan atas sebagian besar transaksi yang dikoreksi. Mereka berargumen bahwa koreksi yang didasarkan hanya pada selisih data PPN tanpa perincian jenis transaksi sebenarnya merupakan koreksi yang asumtif dan tidak sah.
Dalam resolusi konflik tersebut, Majelis Hakim tidak serta merta memihak salah satu pihak. Majelis secara cermat melakukan pengujian bukti atas dasar prinsip actori incumbit probatio. Hasilnya, PB berhasil menyajikan bukti otentik—berupa bukti potong PPh Pasal 22, Surat Setoran Pajak, dan pelaporan yang sinkron—untuk membatalkan koreksi atas nilai DPP sebesar Rp. 2.080.369.778,00. Bukti yang kuat ini membuktikan bahwa kewajiban pemungutan atas transaksi-transaksi tersebut memang telah terpenuhi. Namun, PB gagal memberikan pembuktian yang memadai untuk membantah sisa koreksi sebesar Rp. 333.699.545,00. Kegagalan pembuktian parsial ini menyebabkan Majelis Hakim terpaksa mempertahankan sisa koreksi dan akhirnya memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding.
Implikasi dari putusan "Kabul Sebagian" ini sangat penting bagi seluruh Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, terutama BUMN/BUMD. Keputusan ini menegaskan bahwa keandalan administrasi perpajakan internal adalah kunci untuk memenangkan sengketa. Wajib Pajak tidak bisa hanya mengandalkan bantahan umum; mereka harus mampu melakukan rekonsiliasi yang sempurna antara data PPN Masukan (yang mencatat semua pembelian) dengan data PPh Potput (yang hanya mencatat transaksi wajib potong/pungut). Kegagalan menyediakan dokumentasi yang merinci transaksi dikecualikan atau telah dipenuhi kewajiban Potput-nya, meskipun nilainya relatif kecil, dapat mengakibatkan koreksi tetap dipertahankan oleh Majelis Hakim.
Kesimpulannya, kasus PB ini menjadi pengingat tegas akan urgensi penguatan sistem rekonsiliasi dan manajemen bukti perpajakan. Untuk meminimalkan sengketa PPh Pasal 22 yang timbul dari cross-check data PPN, Wajib Pajak harus proaktif menyiapkan penjelasan dan dokumentasi yang sangat rinci untuk setiap selisih, bahkan sejak tahap pemeriksaan awal.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini